Dr. The Paw Liang
Di era 1990an, Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan salah satu syarat kelulusan akademis untuk stratum satu. Untuk mengakomodir mahasiswa-mahasiwa yang sudah bekerja, kampus merancang suatu program khusus untuk kami di sebuah desa di Kecamatan Dolok Merangir (sekitar 40 menit dari
Tugas kami tidak berat. Selama dua bulan, kami membantu merapikan administrasi dan statistik desa dan membantu pengadaan MCK (Mandi, Cuci, dan Kakus). Selain itu hanya bersosialisasi, beramah-tamah dan mengikuti kehidupan di desa. Keterlibatan ini, membuka mata kami dan memberikan pengalaman yang sangat berharga. Hampir seluruh penduduk di desa itu tercatat sebagai bekas anggota PKI (Partai Komunis
Kebingungan kami semakin bertambah ketika kami mendapatkan sebagian penduduk masih memasang foto Soekarno (bukan Soeharto). Soeharto sudah menjabat
Melihat pancaran wajah yang sederhana dan tidak berdaya ini, hanya ada satu kemungkinan – derap dan hentakan pergulatan politik di Indonesia tidak mampu menembus kepekatan hidup di pedesaan yang polos dan bersahaja. Desa ini tidak terlalu terpelosok dan masi h bisa dijangkau dengan dengan kendaraan umum dan juga sudah menikmati program distrik masuk desa, bagaimana dengan desa-desa y ang jauh terpencil? Tidak berlebihan kalau kita katakan desa di Dolok Merangir ini merupakan pencerminan kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia ya ng kurang tahu menahu dengan perkembangan sosial politik di Indonesia. Tidak heran kalau keluguan mereka kemudian diperdaya dan dimanfaatkan oleh para amtenar dari kota.
Budaya komunal yang tidak membiasakan anggota-anggota komunitas untuk menentukan pilihan sendiri, ditambah sikap yang pasrah dan ‘nrimo’ yang sudah dibiasakan untuk menerima hidup ini sebagai takdir – sekarang atas nama demokrasi, diwajibkan untuk menentukan pilihan. Bisakah mereka memilih secara kritis dan penuh pertimbangan – mempelajari lebih lanjut para kandidat / partai yang akan dipilihnya. Barangkali tidak berlebihan, kalau kita katakan ‘asal pilih.’ Ditambah dengan belenggu kemiskinan, tidak heran kalau mereka rela menjual suara hanya untuk mendapatkan beras untuk satu minggu. Bahkan tidak tertutup kemungkinan seperti cerita “Baju Baru Kaisar” – rakyat hanya manggut dan tidak berani membantah karena takut dipersulit; di sisi lain mereka yang sedikit lebih terpelajar tidak berani menguak ketelanjangan (atau bahkan menikmati ketelanjangan) sang kaisar untuk mempertahankan posisi masing-masing.
Lain di Indonesia, lain di Amerika Serikat. Dengan segala upaya, tim sukses Barack Obama dan Hilary Clinton berusaha mencari kesempatan untuk memperkenalkan calon mereka untuk menentukan siapa yang berhak mewakili Partai Demokrat untuk masuk ke babak final pemilihan Presiden AS ke-44. Dengan didukung media dan teknologi yang informasi yang canggih, sepertinya tidak ada satu pun penduduk AS yang luput dari kampanye. Saya kebetulan berada di Kentucky ketika kedua kubu ini sedang gencar-gencarnya berkampanye di April 2008. Suara sumbang dan skeptis bercampur aduk dengan hiruk pikuk kampanye para tim sukses. Dalam masyarakat yang lebih sophisticated dengan tingkat pendidikan rata-rata yang jauh lebih tinggi dari negara berkembang pun, masih banyak yang meragukan apakah sungguh suara terbanyak merupakan suara terbaik, atau bahkan suara Tuhan?
Bagaimana pula pemilihan di Alkitab? Ketika rakyat Israel meminta kepada Tuhan untuk memilih dari antara mereka sendiri untuk menjadi raja, Tuhan menjatuhkan pilihannya pada Saul dari suku Benyamin. Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, Tuhan meminta Samuel untuk mengurapi Saul. Saul elok rupawan dan berperawakan tinggi – secara fisik satu kepala lebih tinggi dari orang lain. Itulah kesan yang dicatat oleh Samuel. Namun Samuel tidak memberikan alasan mengapa Tuhan memilih Saul.
Berbeda dengan Saul, ketika memilih Daud, “Tuhan melihat hati” sehingga walaupun kurang tinggi / gagah dibandingkan dengan abang-abangnya, Tuhan memilih Daud. Sepertinya Tuhan lebih berhikmat kali ini. Sama seperti kita, Daud tidak luput dari dosa dan kesalahan, namun ia memiliki hati yang takut akan Tuhan dan tidak berkubang dalam dosa dan kesalahannya. Ketika ditegur oleh nabi Natan, ia segera menyadari dan bertobat dari dosa perzinahan dan pembunuhan yang dilakukannya (2 Samuel 11 & 12; Mazmur 51). Ia tidak membantah ketika Tuhan tidak mengizinkannya untuk mendirikan bait Allah. Sebaliknya ia menyadari keberadaan dan ketidaklayakannya serta taat pada perintah Tuhan (1 Raja 5; 1 Taw 28). Tidak heran, dalam sejarah Israel (kitab Raja-raja dan Tawarikh) ia dijadikan sebagai panutan ... “Ahas tidak melakukan apa yang benar di mata Tuhan seperti Daud” ... “Hizkia melakukan apa yang baik di mata Tuhan, tepat seperti yang dilakukan Daud” (2 Taw 28 & 29).
Di Perjanjian Baru, Yesus memilih keduabelas muridNya setelah mereka mengikuti Dia selama dua setengah tahun. Ia berdoa semalam suntuk untuk menentukan siapakah yang akan dipilih dari sejumlah pengikut-pengikutnya. Namun, kita tahu persis, mengapa Yesus membiarkan dirinya ‘kecolongan’ dan memilih Yudas yang akhirnya mengkhianati Dia. Untuk menggantikan Yudas, setelah Yesus naik ke surga, para Rasul membuang undi dan terpilihlah Matias. Nama Matias hanya tercatat dua kali di Alkitab, itu pun hanya pada waktu pemilihan dan lenyap setelah itu.
Setelah hari Pentakosta, gereja betumbuh pesat. Keduabelas rasul berharap untuk berkonsentrasi pada pengajaran Firman Allah. Untuk memberikan perhatian yang lebih merata kepada para anggota, para rasul meminta kepada jemaat untuk memilih sendiri perwakilan mereka untuk menangani kepentingan mereka sendiri. Tujuh orang diaken terpilih. Tidak tercatat bagaimana cara mereka memilih. Para rasul menyerahkan sistem dan prosedur pemilihan sepenuhnya kepada para jemaat. “.., lalu mereka memilih Stefanus, seorang yang penuh iman dan Roh Kudus, dan Filipus, Pokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas, dan Nikolaus, seorang penganut agama Yahudi dari Anthiokia.” (Kisah 6:5b).Mereka dipilih karena iman dan kedekatan mereka dengan Kristus serta pimpinan Roh Kudus yang terpancar dari kehidupan mereka sehari-hari bersama dengan jemaat.
Meskipun jemaat mula-mula sudah tidak sepenuhnya homogen; pengaruh helenis/Yunani, Romawi, dan Yudaisme mewarnai kehidupan jemaat mula-mula; namun frekuensi pertemuan serta kehidupan yang komunal, dibandingkan dengan kehidupan abad 21, jemaat mula-mula ini lebih mengenal satu dengan yang lain secara pribadi. Sama seperti kita yang tinggal di kota kecil, bukan hanya pengenalan pribadi lepas pribadi bahkan juga kehidupan keluarga dan sosial – kesaksian dan kehidupan setiap orang di masyarakat. Budaya individualis belum dikenal, bahkan dikatakan, “semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama” Kis 2:44).
Budaya komunal di satu sisi, seperti di bumi Indonesia, mudah diperdaya oleh para pecatur politik untuk mengumpulkan suara. Di sisi lain, dalam lingkar komunitas tertutup (in-group) seperti kongregasi yang jemaatnya saling mengenal – memungkinkan para pemilih untuk melihat dengan jelas dengan mata dan telinga sendiri – orang-orang yang beriman dan penuh dengan Roh Kudus. Masalahnya, apakah dinamika dan komposisi kehidupan kongregasi kita saat ini sama dengan jemaat mula-mula?
Alkitab tidak menetapkan suatu sistem pemilihan yang
Dalam mengutarakan suara jemaat, kita bukan hanya sekedar mencari suara terbanyak tetapi juga suara terbaik dan terlebih-lebih lagi suara yang mampu menyuarakan suara Tuhan – suara-suara yang mampu memimpin gereja sesuai dengan kehendak Tuhan. Suara yang memimpin gereja dengan penuh iman dan Roh, hikmat dn kasih ... “suara yang sabar; suara yang murah hati; dan tidak cemburu. Suara yang tidak memegahkan diri dan tidak sombong. 5 Suara yang tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Suara yang tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. 6 Suara yang tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. (adaptasi dari 1 Korintus 13)
Biarlah suara Tuhan – suara yang penuh kasih itu melampaui segala hiruk pikuk suara manusia di dalam setiap pemilihan yang kita adakan. Kita perlu menerapkan demokrasi, membentuk kepemimpinan yang dari kita–oleh kita–dan untuk kita; namun di dalam semuanya ini marilah kita senantiasa mendemonstrasikan kasih Tuhan – memilih orang-orang yang benar-benar memiliki iman yang baik serta penuh dengan kuasa dan pimpinan Roh Kudus – orang-orang yang berusaha mencari apa yang benar di mata Tuhan, seperti Daud. (PLT)
Comments
Post a Comment