Kehendakku vs KehendakMu
"Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." (Lukas 22:42)
Mira adalah ukuran kebahagian yang diinginkan oleh banyak orang. Cantik, tamatan luar negeri, orang tua yang masih sehat dan cukup kaya. Usia masih tigapuluh lima, menikah dengan suami yang baik dengan karir yang mantap, dilengkapi dengan dua orang putri yang sehat dan pintar. Persis di puncak kehidupan ini, tiba-tiba suaminya, Hendra, divonis kanker tulang belakang. Tidak sampai setahun, ajal menjemput Hendra. Mira sang janda yang masih cukup muda ini harus menata kembali hidupnya tanpa suami.
Belum setahun berselang, ayah Mira harus dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung dan ia pun tidak pernah kembali lagi ke rumah. Kembali Mira harus mengenakan kain kabungnya.
Hanya beberapa bulan berselang, gulungan awan kumulus kembali menyelimuti keluarga ini. Mira yang lincah dan cekatan, tiba-tiba tidak bisa beranjak turun dari ranjang. Mira lumpuh! Bahkan untuk duduk pun ia harus ditopang. Ia hanya bisa terbaring pasrah. Sesekali perawatnya membantu mendudukkan Mira di kursi roda dan mendorongnya keluar dari kamar. Itu pun ia harus ditopang dengan bantal supaya badannya tidak melorot ke bawah.
Limabelas tahun sudah berlalu sejak ibunda Mira ditelepon karena Mira ditemukan terbaring tidak berdaya di kamarnya. Mengapa? Dunia medis terjebak dalam keheningan dan berharap suatu hari dapat menemukan jawaban yang memuaskan. Mira yang ketika masih remaja aktif melayani sebagai guru sekolah minggu, tanpa sebab yang jelas, harus menjadi manusia ‘sayur.’ Hidupnya kini hanya bergantung pada belas kasihan orang-orang di sekitarnya. Sedikit untung keluarganya masih memiliki sisa warisan dari ayahnya untuk menopang ekonomi keluarga.
Dua orang teman Mira yang dulu sama-sama mengajar di sekolah minggu di Singapura meluangkan waktu untuk mengunjungi Mira di Jakarta. Iba dan kasih dinyatakan dengan tatapan dan sentuhan. Reuni yang unik tanpa tawa dan canda maupun cerita-cerita di masa remaja. Doa-doa dipanjatkan: kesembuhan kah yang dipinta? Kekuatankah yang akan diberikan? Apalah kehendak Tuhan yang akan terjadi?
Bagaikan hujan dan angin. Penyakit dan bencana bisa terjadi dan menghampiri siapa saja, termasuk Tuhan Yesus. Ketika bencana demi bencana silih berganti menghantam kehidupan Ayub, rumahnya roboh, hartanya dirampas dan kesepuluh anaknya mati. Semua ini terjadi dalam waktu singkat. Tak cukup sampai di sini, teman-teman tempat Ayub berbagi duka menjadi curiga. Istri sang tumpuan harapan pun tak mampu membendung keraguannya terhadap Ayub. Ada apa gerangan? Mengapa Ayub ini begitu sial? Dosakah yang menyebabkan ia pantas menerima semua ini? Di manakah Tuhan ketika celaka ini bertubi-tubi menghantam Ayub, manusia yang terkenal karena kesalehannya?
Sudah pasti Tuhan tidak menghendaki bencana dan penyakit menghampiri umatNya. Namun IA tidak selalu meluputkan kita dari bencana atau melepaskan penderitaan yang mendera kita. Demikian juga IA tidak menyerahkan begitu saja Anak-Nya untuk disalibkan. IA bahkan juga tidak menghiraukan Yesus ketika IA berseru, Eloi-eloi lama sabakhtani” Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Tetapi sampai akhir hayatNya, Yesus tetap mempercayakan hidupNya kepada Bapa - "Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku."
Yesus tidak pernah mengalami kelumpuhan seperti Mira. Yesus tidak ditimpa rentetan bencana seperti yang terjadi pada Ayub. PenderitaanNya di malam ketika IA diadili sudah pasti tidak sepanjang sejarah penyakit yang menimpa Mira. Namun kegentaran yang dialami menghadapi kutuk Salib tidaklah lebih ringan dibandingkan dengan penderitaan Ayub dan Mira. Menghadapi kutuk salib yang mengintai, Yesus merasa sedih dan gentar. Di Getsemani Ia berdoa sampai berpeluh. Bahkan ketika malaikat datang memberikan kekuatan, kehadiran sang malaikat pun tidak menolong. Lukas mencatat, ketakutanNya bertambah dan Yesus makin sungguh-sungguh berdoa (Luk 22:39-46). Yesus memohon kepada Tuhan untuk melepaskan diriNya dari semua penderitaan yang menghantuiNya. Namun, lebih daripada semua ini, IA tetap menyerahkan diriNya ke tangan Tuhan, “tetapi kehendakMu lah yang terjadi.”
Ketika menghadapi penderitaan, kita semua ingin melepaskan diri dari belenggu ini secepat mungkin. Tidak ada yang salah dengan keinginan ini. Demikian juga halnya, Mira dan ibundanya bahkan Ayub sudah pasti berdoa untuk dilepaskan dari semua penderitaan mereka. Itulah kerinduan hati kita, kehendak kita. Semua ini mungkin sah dan benar. Tetapi bagaimana dengan kehendak Tuhan? Sudah pasti Tuhan tidak menginginkan supaya ada satu pun manusia yang menderita, namun ketika IA memilih untuk diam pada saat kita berseru, masihkah kita bisa berkata “Aku percaya kepadaMu, biarlah kehendakMulah saya yang terjadi.”?
Ketika kita menempatkan Tuhan sebagai pusat kehidupan, kita tidak akan memaksakan kehendak kita kepada Bapa, tetapi kita akan senantiasa memiliki hati yang berserah dan percaya, "tetapi bukanlah kehendakku, melainkan kehendakMulah yang terjadi." Begitupula Yesus, dalam menghadapi misteri kehidupan IA tetap menyerahkan hidupNya ke dalam tangan Tuhan. Ketika kita tidak mampu melihat tangan Nya yang menyertai kita, marilah kita percaya kepada hatiNya, “when you can’t see His hand, trust His heart." Ketika mata kita tidak mampu menembus kepekatan malam yang menutupi jalan kita, biarlah gada dan tongkatNya menjadi kekuatan bagi kita. Mungkin kekelaman malam akan berangsur-angsur sirna dan fajar segera menyongsong dengan sejuta harapan seperti yang terjadi pada Ayub. Mungkin juga realita tidak akan jera-jera mendera kita dan mengaburkan pandangan kita terhadap kebesaran dan kasih Tuhan, biarlah kita tetap berpegang pada janjiNya. Kutuk salib telah dipatahkan, kemenangan telah diberikan. IA telah menyediakan tempat bagi kita di seberang sana - tempat dimana tidak ada sakit penyakit bahkan air mata pun tidak lagi dikenal. Mungkin kekelaman ini tidak akan pernah beranjak di dunia ini. Namun, kehangatan mentari pagi akan kita rasakan ketika kita melihat cahaya wajahNya bagi kita yang senantiasa berseru kepadaNya, "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." (PLT)
*Illustrasi dalam renungan ini adalah fiksi berdasarkan kisah nyata.
Comments
Post a Comment