Cuma itu yang bisa saya lakukan, hanya kehadiran saja
Saya jadi teringat: Musa meminta kepada Tuhan, "if your presence (kehadiran) does not go with us, do not send us from here" ( jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah menyuruh kami pergi dari tempat ini" (Kel 33:15)
Kesibukan hidup
menjadikan " kehadiran" menjadi sesuatu yg sulit kita berikan kepada
orang lain, keluarga ( suami, istri, anak-anak, cucu2, atau orang tua) dan
bahkan kepada Allah.
Ironis, sama seperti
Musa kita merindukan kehadiran Allah (hadiratNya) - kehadiran Roh Nya. Namun,
apakah kita juga hadir di hadapanNya? Ketika kita beribadah, baik sendiri
maupun bersama-sama di gereja, apakah kita hadir di hadiratNya? secara jiwa,
raga, hati, dan akal budi? (Mar 12:30). Di hadapan orang-orang yang kita
kasih?
Ketika secara fisik
kita hadir pun, perlu kita cek apakah Jiwa dan hati kita juga hadir di sana?
Fenomena sekarang,
ketika fisik sudah di gereja, hati dan pikiran sering lebih terpaku pada gadget
dan urusan di kantor. Ketika fisik di kantor, hati masih memikirkan urusan
gereja yang blm dituntaskan. Sulit menyatukan jiwa, hati, pikiran, dan raga di
satu tempat. (fragmented life)
Kehadiran menjadi
sulit dan harus diupayakan dan dibudidayakan.
"The chief end of
life is to glorify Him and enjoy Him forever." (Tujuan hidup manusia
adalah memuliakanNya dan menikmatiNya selalu.)
Menikmati Allah hanya
mungkin ketika kita merasakan kehadiranNya dengan totalitas kehadiran kita
sendiri. Prinsip yg sama berlaku untuk relasi kita dengan sesama kita.
Mari, jadikan
kehadiran kita sebagai wujud aprèsiasi/ gift utk Tuhan dan orang yg kita
kasihi. (goresan 4 Feb 2013)
Amen. His Presence is where the fullness of Joy is met in Him!
ReplyDelete