Skip to main content


Demokrasi vs Demokasih

Dr. The Paw Liang

Di era 1990an, Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan salah satu syarat kelulusan akademis untuk stratum satu. Untuk mengakomodir mahasiswa-mahasiwa yang sudah bekerja, kampus merancang suatu program khusus untuk kami di sebuah desa di Kecamatan Dolok Merangir (sekitar 40 menit dari kota P.Siantar, Sumatera Utara). Setiap sore, selepas kerja kami diwajibkan mengunjungi desa tersebut; melakukan aktivitas di malam hari yang biasa kami habiskan dengan bersosialisasi dengan penduduk setempat. Esok pagi-pagi kami sudah harus kembali ke tempat kerja. Kemudian Jumat malam hingga Senin pagi, kami wajib bertugas sepenuhnya di lapangan.

Tugas kami tidak berat. Selama dua bulan, kami membantu merapikan administrasi dan statistik desa dan membantu pengadaan MCK (Mandi, Cuci, dan Kakus). Selain itu hanya bersosialisasi, beramah-tamah dan mengikuti kehidupan di desa. Keterlibatan ini, membuka mata kami dan memberikan pengalaman yang sangat berharga. Hampir seluruh penduduk di desa itu tercatat sebagai bekas anggota PKI (Partai Komunis Indonesia), beragama Islam, tingkat pendidikan yang sangat rendah dan sebagian masih buta huruf. Sulit ditelusuri seberapa jauh ideologi komunis telah mempengaruhi kehidupan rakyat jelata ini. Tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka ini hanya kaum proletariat yang dimanfaatkan oleh elit politik pada masa itu – ormas-ormas PKI yang berusaha mencari massa pendukung, atau pendukung Soeharto dan gerakan orde barunya yang berusaha menjadikan PKI sebagai kambing hitam untuk mengukuhkan posisi mereka. Yang jelas stigma ini semakin membatasi ruang gerak rakyat jelata yang tidak tahu menahu akan pertarungan elit-elit politik di kota.

Kebingungan kami semakin bertambah ketika kami mendapatkan sebagian penduduk masih memasang foto Soekarno (bukan Soeharto). Soeharto sudah menjabat Presiden RI selama 26 tahun. Tidakkah mereka pernah mendengar Soeharto, Bapak Pembangunan yang terkenal itu? Atau apakah begitu loyalnya mereka kepada Soekarno dan bersedia menanggung murka dari pemerintah Orde Baru? Memang Dolok Merangir merupakan salah satu sarang PKI di era 1960an. Tidak heran kalau foto Soekarno dibagi merata di setiap keluarga. Namun, tidakkah Orde Baru dengan Program Pentaran P4 nya lebih gencar lagi merambah setiap insan di Indonesia? Tidakkah mereka pernah memperhatikan poster-poster kampanye yang tersebar di seluruh pelosok nusantara?

Melihat pancaran wajah yang sederhana dan tidak berdaya ini, hanya ada satu kemungkinan – derap dan hentakan pergulatan politik di Indonesia tidak mampu menembus kepekatan hidup di pedesaan yang polos dan bersahaja. Desa ini tidak terlalu terpelosok dan masi h bisa dijangkau dengan dengan kendaraan umum dan juga sudah menikmati program distrik masuk desa, bagaimana dengan desa-desa y ang jauh terpencil? Tidak berlebihan kalau kita katakan desa di Dolok Merangir ini merupakan pencerminan kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia ya ng kurang tahu menahu dengan perkembangan sosial politik di Indonesia. Tidak heran kalau keluguan mereka kemudian diperdaya dan dimanfaatkan oleh para amtenar dari kota.

Budaya komunal yang tidak membiasakan anggota-anggota komunitas untuk menentukan pilihan sendiri, ditambah sikap yang pasrah dan ‘nrimo’ yang sudah dibiasakan untuk menerima hidup ini sebagai takdir – sekarang atas nama demokrasi, diwajibkan untuk menentukan pilihan. Bisakah mereka memilih secara kritis dan penuh pertimbangan – mempelajari lebih lanjut para kandidat / partai yang akan dipilihnya. Barangkali tidak berlebihan, kalau kita katakan ‘asal pilih.’ Ditambah dengan belenggu kemiskinan, tidak heran kalau mereka rela menjual suara hanya untuk mendapatkan beras untuk satu minggu. Bahkan tidak tertutup kemungkinan seperti cerita “Baju Baru Kaisar” – rakyat hanya manggut dan tidak berani membantah karena takut dipersulit; di sisi lain mereka yang sedikit lebih terpelajar tidak berani menguak ketelanjangan (atau bahkan menikmati ketelanjangan) sang kaisar untuk mempertahankan posisi masing-masing.

Lain di Indonesia, lain di Amerika Serikat. Dengan segala upaya, tim sukses Barack Obama dan Hilary Clinton berusaha mencari kesempatan untuk memperkenalkan calon mereka untuk menentukan siapa yang berhak mewakili Partai Demokrat untuk masuk ke babak final pemilihan Presiden AS ke-44. Dengan didukung media dan teknologi yang informasi yang canggih, sepertinya tidak ada satu pun penduduk AS yang luput dari kampanye. Saya kebetulan berada di Kentucky ketika kedua kubu ini sedang gencar-gencarnya berkampanye di April 2008. Suara sumbang dan skeptis bercampur aduk dengan hiruk pikuk kampanye para tim sukses. Dalam masyarakat yang lebih sophisticated dengan tingkat pendidikan rata-rata yang jauh lebih tinggi dari negara berkembang pun, masih banyak yang meragukan apakah sungguh suara terbanyak merupakan suara terbaik, atau bahkan suara Tuhan?

Bagaimana pula pemilihan di Alkitab? Ketika rakyat Israel meminta kepada Tuhan untuk memilih dari antara mereka sendiri untuk menjadi raja, Tuhan menjatuhkan pilihannya pada Saul dari suku Benyamin. Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, Tuhan meminta Samuel untuk mengurapi Saul. Saul elok rupawan dan berperawakan tinggi – secara fisik satu kepala lebih tinggi dari orang lain. Itulah kesan yang dicatat oleh Samuel. Namun Samuel tidak memberikan alasan mengapa Tuhan memilih Saul.

Berbeda dengan Saul, ketika memilih Daud, “Tuhan melihat hati” sehingga walaupun kurang tinggi / gagah dibandingkan dengan abang-abangnya, Tuhan memilih Daud. Sepertinya Tuhan lebih berhikmat kali ini. Sama seperti kita, Daud tidak luput dari dosa dan kesalahan, namun ia memiliki hati yang takut akan Tuhan dan tidak berkubang dalam dosa dan kesalahannya. Ketika ditegur oleh nabi Natan, ia segera menyadari dan bertobat dari dosa perzinahan dan pembunuhan yang dilakukannya (2 Samuel 11 & 12; Mazmur 51). Ia tidak membantah ketika Tuhan tidak mengizinkannya untuk mendirikan bait Allah. Sebaliknya ia menyadari keberadaan dan ketidaklayakannya serta taat pada perintah Tuhan (1 Raja 5; 1 Taw 28). Tidak heran, dalam sejarah Israel (kitab Raja-raja dan Tawarikh) ia dijadikan sebagai panutan ... “Ahas tidak melakukan apa yang benar di mata Tuhan seperti Daud” ... “Hizkia melakukan apa yang baik di mata Tuhan, tepat seperti yang dilakukan Daud” (2 Taw 28 & 29).

Di Perjanjian Baru, Yesus memilih keduabelas muridNya setelah mereka mengikuti Dia selama dua setengah tahun. Ia berdoa semalam suntuk untuk menentukan siapakah yang akan dipilih dari sejumlah pengikut-pengikutnya. Namun, kita tahu persis, mengapa Yesus membiarkan dirinya ‘kecolongan’ dan memilih Yudas yang akhirnya mengkhianati Dia. Untuk menggantikan Yudas, setelah Yesus naik ke surga, para Rasul membuang undi dan terpilihlah Matias. Nama Matias hanya tercatat dua kali di Alkitab, itu pun hanya pada waktu pemilihan dan lenyap setelah itu.

Setelah hari Pentakosta, gereja betumbuh pesat. Keduabelas rasul berharap untuk berkonsentrasi pada pengajaran Firman Allah. Untuk memberikan perhatian yang lebih merata kepada para anggota, para rasul meminta kepada jemaat untuk memilih sendiri perwakilan mereka untuk menangani kepentingan mereka sendiri. Tujuh orang diaken terpilih. Tidak tercatat bagaimana cara mereka memilih. Para rasul menyerahkan sistem dan prosedur pemilihan sepenuhnya kepada para jemaat. “.., lalu mereka memilih Stefanus, seorang yang penuh iman dan Roh Kudus, dan Filipus, Pokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas, dan Nikolaus, seorang penganut agama Yahudi dari Anthiokia.” (Kisah 6:5b).Mereka dipilih karena iman dan kedekatan mereka dengan Kristus serta pimpinan Roh Kudus yang terpancar dari kehidupan mereka sehari-hari bersama dengan jemaat.

Meskipun jemaat mula-mula sudah tidak sepenuhnya homogen; pengaruh helenis/Yunani, Romawi, dan Yudaisme mewarnai kehidupan jemaat mula-mula; namun frekuensi pertemuan serta kehidupan yang komunal, dibandingkan dengan kehidupan abad 21, jemaat mula-mula ini lebih mengenal satu dengan yang lain secara pribadi. Sama seperti kita yang tinggal di kota kecil, bukan hanya pengenalan pribadi lepas pribadi bahkan juga kehidupan keluarga dan sosial – kesaksian dan kehidupan setiap orang di masyarakat. Budaya individualis belum dikenal, bahkan dikatakan, semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama” Kis 2:44).

Budaya komunal di satu sisi, seperti di bumi Indonesia, mudah diperdaya oleh para pecatur politik untuk mengumpulkan suara. Di sisi lain, dalam lingkar komunitas tertutup (in-group) seperti kongregasi yang jemaatnya saling mengenal – memungkinkan para pemilih untuk melihat dengan jelas dengan mata dan telinga sendiri – orang-orang yang beriman dan penuh dengan Roh Kudus. Masalahnya, apakah dinamika dan komposisi kehidupan kongregasi kita saat ini sama dengan jemaat mula-mula?

Alkitab tidak menetapkan suatu sistem pemilihan yang baku. Yang pasti dalam setiap pemilihan, umat Allah selalu berusaha mencari suara dan pimpinan Tuhan. Jemaat mula-mula mulai mengenal sistem demokrasi. Mereka memilih sendiri tujuh orang dari antara mereka untuk mengurus kepentingan mereka sendiri. Namun tidak tercatat sistem dan prosedur pemilihan. Apakah suara terbanyak, panitia pencalon, sistem formatus, atau membuang undi? Dokter Lukas hanya mencatat, tujuh orang yang terpilih ini memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan (atau beriman) dan dipenuhi dan dipimpin oleh Roh Kudus. (Meskipun salah satu di antaranya, Nikolaus, tercatat dalam sejarah gereja jatuh dalam ajaran sesat).

Dalam mengutarakan suara jemaat, kita bukan hanya sekedar mencari suara terbanyak tetapi juga suara terbaik dan terlebih-lebih lagi suara yang mampu menyuarakan suara Tuhan – suara-suara yang mampu memimpin gereja sesuai dengan kehendak Tuhan. Suara yang memimpin gereja dengan penuh iman dan Roh, hikmat dn kasih ... “suara yang sabar; suara yang murah hati; dan tidak cemburu. Suara yang tidak memegahkan diri dan tidak sombong. 5 Suara yang tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Suara yang tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. 6 Suara yang tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. (adaptasi dari 1 Korintus 13)

Biarlah suara Tuhan – suara yang penuh kasih itu melampaui segala hiruk pikuk suara manusia di dalam setiap pemilihan yang kita adakan. Kita perlu menerapkan demokrasi, membentuk kepemimpinan yang dari kita–oleh kita–dan untuk kita; namun di dalam semuanya ini marilah kita senantiasa mendemonstrasikan kasih Tuhan – memilih orang-orang yang benar-benar memiliki iman yang baik serta penuh dengan kuasa dan pimpinan Roh Kudus – orang-orang yang berusaha mencari apa yang benar di mata Tuhan, seperti Daud. (PLT)

Comments

Popular posts from this blog

Elok Rupa vs Elok Hati

oleh: Pdt. Dr. The Paw Liang  Seandainya Musa tidak cantik….. Tuhan mendengar seruan dan tangisan bangsa Israel di Mesir. Tuhan berbelas kasihan dan memutuskan untuk menghentikan penderitaan mereka. IA merencanakan dan mempersiapkan rencananya, Musa dipakai untuk melepaskan bangsaNya. Apakah Musa dipilih dari sekian banyak bayi laki-laki yang lahir atau kah memang sudah direncanakan oleh Tuhan sebelum Musa lahir bahwa pemimpin ini akan lahir dari suku Lewi, dari keluarga Amran dan Yokhebed. Ketika Musa lahir, Alkitab mencatat, “Ketika dilihatnya, bahwa anak itu cantik, disembunyikannya tiga bulan lamanya. (Kel 2:2). Harun, abang Musa lahir sebelum Firaun mengeluarkan dekrit untuk membunuh bayi-bayi laki-laki Ibrani. Harun tiga tahun lebih tua dari Musa, adakah bayi lain yang lahir di antara mereka berdua? Tidak ada kepastian dalam hal ini. Namun sepertinya ada penekanan, “ketika dilihatnya, bahwa anak itu cantik …” tidak tega orang tuanya membunuhnya, maka disembunyikanlah bayi ini t
DO YOU WANT TO GET WELL? “When Jesus saw him lying there and learned that he had been in this condition for a long time, he asked him, ‘ Do you want to get well?’ Then Jesus said to him, ‘G et up! Pick up your mat and walk. ’” ‭‭John‬ ‭5:6, 8‬ ‭NIV Do you want to get well? Jesus cares! He sees each and everyone of us. He cares to know us. He saw the crippled at the pool of Bethesda! He knew his struggle! And He sees you and me—He sees our struggles! His mercy comes to us even before we come and cry out to Him! He asked, ‘Do you want to get well?’ His grace heals far better than our human cures! Certainly much better than the cure of the pool of Bethesda! Do you want to get well? God wants to, not just cancel our sins! But, in the words of Charles Wesley, He also wants to “break the power of cancelled sin.” What are some power of cancelled sin that still crippling you? Do you want to get well—physically, emotionally, and spiritually? Jesus says, ‘Get up! Pick up your mat and wal
Cuma itu yang bisa saya lakukan, hanya kehadiran saja Saya jadi teringat: Musa meminta kepada Tuhan, " if your presence (kehadiran) does not go with us, do not send us from here " ( jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah menyuruh kami pergi dari tempat ini" (Kel 33:15) Kesibukan hidup menjadikan " kehadiran" menjadi sesuatu yg sulit kita berikan kepada orang lain, keluarga ( suami, istri, anak-anak, cucu2, atau orang tua) dan bahkan kepada Allah. Ironis, sama seperti Musa kita merindukan kehadiran Allah (hadiratNya) - kehadiran Roh Nya. Namun, apakah kita juga hadir di hadapanNya?  Ketika kita beribadah, baik sendiri maupun bersama-sama di gereja, apakah kita hadir di hadiratNya? secara jiwa, raga, hati, dan akal  budi? (Mar 12:30). Di hadapan orang-orang yang kita kasih? Ketika secara fisik kita hadir pun, perlu kita cek apakah Jiwa dan hati kita juga hadir di sana? Fenomena sekarang, ketika fisik sudah